TIMES FLORES, JAKARTA – Calon Hakim Agung untuk Kamar Pidana, Suradi, menegaskan bahwa hukuman mati masih relevan dalam sistem peradilan Indonesia. Pernyataan itu ia sampaikan saat menjalani uji kelayakan dan kepatutan di Komisi III DPR RI, Senin (15/9/2025).
Menurut Suradi, pidana mati berfungsi sebagai “shock therapy” bagi pelaku kejahatan, meski penerapannya hanya layak diberikan kepada kasus yang benar-benar tergolong serius.
“Pidana khusus ini bisa menjadi jalan tengah untuk mengantisipasi kejahatan tertentu yang membahayakan masyarakat,” ujarnya.
Ia menjelaskan, hukuman mati tetap diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Meski demikian, posisinya bukan sebagai pidana pokok, melainkan pidana khusus. Hal itu sejalan dengan ketentuan International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR), yang masih memperbolehkan pidana mati untuk most serious crime.
“Misalnya, ada pelaku yang memutilasi korban hingga memisahkan anggota tubuh. Dalam kondisi seperti itu, hukum pidana kita masih memberikan ruang untuk menjatuhkan pidana mati,” tutur hakim tinggi Badan Pengawasan Mahkamah Agung tersebut.
Suradi juga menyoroti pengaturan terbaru dalam KUHP yang mewajibkan adanya masa percobaan selama 10 tahun bagi terpidana mati. Selama periode tersebut, pembinaan tetap dijalankan. Jika narapidana menunjukkan penyesalan dan perubahan perilaku, pidananya dapat dikonversi menjadi penjara seumur hidup.
“Bila dalam 10 tahun ia berkelakuan baik dan menyesali perbuatannya, ada peluang untuk mengubah vonis menjadi pidana seumur hidup. Saya sepakat dengan konsep yang diatur dalam KUHP terbaru,” tambahnya. (*)
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Calon Hakim Agung Suradi: Hukuman Mati Masih Diperlukan
Pewarta | : Antara |
Editor | : Wahyu Nurdiyanto |