TIMES FLORES, MALANG – Mahasiswa merupakan entitas penting dari agregat yang dimiliki Bangsa. Soekarno salah satunya dapat menjadi teladan bagi mahasiswa bahwa kegemaran membaca buku, menulis di media maupun aktif berorganisasi merupakan kegiatan utama dalam mengimprovisasi diri.
Eksistensi mahasiswa mungkin sudah lama kita kenal sebagai agent of chance (agen perubahan) atau Iron stok (menjadi pengganti orang-orang yang memerintah atau memimpin). Pandangan ini sudah jauh terletak pada persepsi masyarakat bahwa nilai mutlak atas eksistensi mahasiswa inheren dengan identitas tersebut.
Beberapa waktu belakangan ini, mahasiswa masih dihadirkan oleh kecemasan dalam menjelajahi dunia pendidikan, apalagi kalau bukan persoalan finansial. Negara sejatinya telah menyinggung persoalan fungsi dan tujuan dari adanya pendidikan, dimana tertuang dalam undang–undang No. 20 tahun 2003 pasal 1 ayat 2, bahwa “Pendidikan berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.
Jelas bahwa negara menyinggung pentingnya pendidikan untuk rakyat Indonesia, terutama atensi dari tulisan ini memihak pada mahasiswa. Persoalan finansial bukan lagi persoalan yang disepelekan. Telah lama pemerintah memihak pada mahasiswa melalui lembaga bantuan sosial dalam bentuk beasiswa maupun menggandeng beberapa stakeholder dalam merangsang pertumbuhan pendidikan di Indonesia katakanlah seperti LPDP, Beasiswa Unggulan dan jenis bantuan lainnya.
Namun kondisi ini lantas tidak memberikan kepuasan mutlak atas keberpihakan negara terhadap mahasiswa. Terutama bagi mahasiswa yang tidak terafiliasi dalam jaringan bantuan sosial. Posisi mahasiswa dalam konteks ini perlu untuk mendapatkan perhatian lebih, apalagi ketika pemerintah mulai memberlakukan Kampus Merdeka.
Berangkat dari beberapa keluhan mahasiswa ketika dihadapkan kehidupan tentu siklus yang dijalani cukup berbeda-beda. Terdapat hambatan maupun rintangan bagi mereka yang melakukan pembiayaan secara mandiri. Benar bahwa ketika diawal melakukan pendaftaran mahasiswa disuguhkan dengan kalimat “Apakah mampu dalam segi pembiayaan untuk menyelesaikan studi perkuliahan?” namun dalam kondisi lain ketika mengalami rintangan yang tidak diinginkan tentu kecenderungan negara dalam mengintervensi dunia pendidikan sangat diperlukan.
Maka dengan demikian, setidaknya peristiwa tersebut dapat digunakan sebagai proyeksi perencanaan pemerintah dalam melakukan tindakan preventif melalui pemberlakuan sistem yang lebih egaliter. Dalam artian, pemerintah melalui kewenangannya berani untuk menyerap beberapa mahasiswa yang mengalami problem atau permasalahan dalam dunia pendidikan terkhusus bagi pembiayaan secara independent atau mandiri.
Sejauh ini, berat bagi instansi pendidikan untuk memerdekakan mahasiswa dalam menentukan kemampuan pembiayaan. Dalam kasus kebelakang instansi pendidikan bahkan berani untuk berkolaborasi dengan lembaga pinjaman online (pinjol). Kehadiran pinjol seakan-akan menjadi solusi bagi mahasiswa yang mengalami permasalahan finansial. Mahasiswa disuguhkan untuk terafiliasi atau bahkan menyukseskan lembaga pinjaman dalam menyerap nasabah. Tentu ini merupakan hal yang tidak konkrit ketika mahasiswa tetap ingin mengakses pendidikan namun solusi atas permasalahan tidak berdasarkan apa yang diharapkan.
Sejatinya, progam kampus merdeka mampu untuk menyerap keluhan mahasiswa. Merdeka tidak hanya dipahami sebagai pengambilan mata kuliah diluar progam studi selama satu semester dan berkegiatan diluar perguruan tinggi selama dua semester. Tetapi harus dapat dipahami dalam cara pandang yang lebih luas lagi. Merdeka dapat juga dipahami sebagai kemampuan dalam menentukan pembiayaan perkuliahan. Tidak hanya terikat pada keputusan instansi pendidikan atas besaran yang harus dibayar.
Pemerintah seharusnya mampu untuk memberikan keberpihakan terhadap mahasiswa atas keluhan atau kebutuhan mereka. Keluhan yang bersifat parsial seharusnya mampu untuk diamputasi sejak dini, sehingga permasalahan-permasalahan tidak merembet pada ruang yang tidak ingin pemerintah inginkan. Sebagai pengejawantahan ruang-ruang demokrasi, pendekatan humanis persuasif adalah pilihan rasional dalam memberikan ruang bagi mahasiswa untuk turut berkontribusi menentukan skala pembiayaan kuliah. Apalagi tahun-tahun ini merupakan tahun reunifikasi ekonomi atas C-19 setelah dinyatakan sebagai endemi.
Dengan demikian terma agent of chance dan iron stok yang melekat pada identitas mahasiswa tidak hanya berhenti pada skala pencitraan namun lebih jauh lagi berkaitan tentang perubahan yang sebenarnya. Secara sadar, kemampuan dalam mengubah keputusan instansi pendidikan atas pembiayaan merupakan pengejawantahan kalimat agent of change. Berangkat dari ruang-ruang pendidikan demi menekan keputusan formal bukan lagi sebuah utopia belaka, tetapi ini adalah kondisi yang sebenarnya atas menyikapi pemahaman Merdeka. (*)
***
*) Oleh : Muhammad Wahyu Prasetyo Adi, Mahasiswa Magister Ilmu Administrasi Publik Universitas Brawijaya Malang.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
*) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Mahasiswa Merdeka
Pewarta | : Hainorrahman |
Editor | : |